Mengadaptasi game menjadi film layar lebar umumnya merupakan ide yang buruk, begitu pula sebaliknya. Industri film dan video game tampaknya memang sulit disatukan. Hal itu terbukti melaluibanjir “sampah” kreasi Uwe Boll, serta franchise Resident Evil yang sejak awal sudah menyasar terlalu jauh dari keaslian cerita dalam game-nya. Beda halnya dengan Silent Hill yang berhasil menampilkan suasana mencekam melalui pemandangan kota penuh horor dan tampilan monster-monster berwujudabsurd.
Walaupun begitu, masih sulit rasanya menyebut Silent Hill sebagai film adaptasi yang sukses. Cerita yang disuguhkan game karya Konami itu pada dasarnya sudah diperkuat konsep “neraka di bumi” yang mencekam. Monster-monster bertubuh manusia dengan tampilan wajah—bahkan kepala—yang aneh berhasil membuat bulu kuduk berdiri. Dengan demikian, cerita yang dangkal pun akan tertutupi unsur-unsur tampilan ala neraka dan tetap menghasilkan tontonan yang mengerikan. Efek serupa juga bisa Anda rasakan dalam Paranormal Activity 4 yang kedangkalan ceritanya terobati sensasi tegang dan mencekam sepanjang film.
Sayangnya, kualitas serupa tidak banyak berubah dalam installment lanjutan, Silent Hill: Revelation, bahkan dapat dikatakan kualitasnya semakin buruk.
Kota Terkutuk kembali memanggil
Sama halnya dengan game Silent Hill 3, tokoh utama film ini adalah Heather (Adelaide Clemens). Walaupun tidak memiliki ingatan apa pun mengenai pengalaman di Silent Hill, mimpi-mimpi buruk seputar kota terkutuk itu terus menghantui tidurnya. Panggilan-panggilan untuk kembali ke kota itu terus terngiang. Berpindah-pindah tempat tinggal dengan ayahnya pun tidak membantu. Mimpi buruk mengintil setiap langkahnya dan berangsur-angsur berubah menjadi kenyataan.
Dari panggilan melalui mimpi dan beragam penampakan menyeramkan, ancaman Silent Hill menjadi semakin nyata ketika Heather bertemu seorang detektif swasta bernama Douglas Carland (Martin Donovan). Ia mengaku sebuah sekte membayarnya untuk mencari dan membawa Heather kembali ke Silent Hill.
Tidak cukup sampai di situ, hidup Heather terancam serangan-serangan monster. Setelah berhasil lolos dan bertemu teman sekelasnya, Vincent (Kit Harington), ia pulang dan menemukan rumahnya dalam kondisi berantakan dan kalimat “Come to Silent Hill” tertulis dengan darah di tembok rumahnya. Mengetahui ayahnya telah diculik dan dibawa ke kota tersebut, Heather dan Vincent pun bergegas menyusul. Petualangan menyeramkan dan mematikan pun dimulai!
Sekuel yang hambar
Sebagai sebuah game survival horror, Silent Hill mengandung unsur-unsur yang tepat. Latar tempat yang misterius, suasana mencekam, monster-monster absurd yang muncul secara tiba-tiba dan bergerak dengan cara yang aneh, serta gerakan pemain yang kaku dan terbatas mampu membuat jantung pemain berdegup kencang. Namun, unsur-unsur itu tidak cukup untuk mengubah Silent Hillmenjadi film layar lebar yang sukses.
Kekuatan setiap film pada dasarnya terletak di kedalaman karakter dan plot cerita yang mampu menarik penonton masuk ke dalam setiap masalah yang ada. Kedua hal tersebut absen dari Silent Hill: Revelation. Karena itu, terlihat jelas bahwa kejar-kejaran dan kaget-kagetan dengan segudang monster tidak cukup membuat film ini pantas dinilai berkualitas.
Dialog yang disiapkan untuk film ini pun terasa dangkal, seakan setiap kalimat ditulis untuk sekadar memenuhi syarat. Percakapan antara Heather dan Vincent, khususnya dalam perjalanan menuju Silent Hill, terasa hampa. Perbincangan Heather dengan Douglas ataupun ayahnya juga demikian. Setiap pesan rasanya bisa disampaikan hanya dalam dua atau tiga kalimat, tetapi dialog dipaksa berjalan lebih lama, menghasilkan momen-momen membosankan.
Cukup disayangkan potensi cerita dan dunia Silent Hill yang menyeramkan tidak digali dengan benar, bahkan terkesan lebih ditempatkan sebagai bantalan penahan kejatuhan kualitas film. Sensasi tegang dan suara-suara yang mengagetkan benar-benar menopang kedangkalan cerita. Durasi sang tokoh utama di Silent Hill juga terasa terlalu sebentar. Terlalu banyak dialog dan mimpi yang diekplorasi di awal sebelum akhirnya beralih ke kota terkutuk itu. Monster-monster yang dihadirkan pun, walaupun menyeramkan, tidak menjadi pemandangan baru bagi penonton. Setidaknya, jika dilihat dari sisi ini, perkembangan sekuel-sekuel Resident Evil lebih terasa.
Dengan cerita dan eksekusi yang mengecewakan, talenta para aktor yang melekat dengan proyek ini tersia-sia. Memang nama-nama seperti Sean Bean (Lord of the Rings: Fellowship of the Ring), Carrie Ann Moss (The Matrix), dan Malcolm McDowell (The Artist) tidak terlalu besar, tetapi kemampuan akting mereka tidak perlu diragukan lagi. Sayangnya, sutradara/penulis naskah Michael J. Basset (Salomon Kane) pun tidak berhasil menguras bakat tersebut. Durasi mereka di depan kamera juga terasa terlalu singkat.
Adelaide Clemens tentu memakan paling banyak waktu di depan kamera sebagai tokoh utama. Meskipun terhitung sebagai pendatang baru, ia sudah memegang andil di proyek-proyek besar, seperti X-Men Origins: Wolverine (2009) dan The Great Gatsby yang akan tayang tahun depan. Memainkan peran dalam film horor tentu mengundang satu pertanyaan penting: “Is she the nextScream Queen?” Jawabanya, tidak! Penampilannya masih kalah prima dibanding Mary Elizabeth Winstead dalam The Thing, film yang menurut saya menyuguhkan tingkat kengerian yang sebanding dengan Silent Hill: Revelation.
Sebagai film adaptasi, kesuksesan film ini hanya sebatas kesetiaannya terhadap cerita aslinya. Sebagai sekuel yang sudah dinantikan selama enam tahun, tidak ada yang patut di-highlight dari film ini. Visualisasi monster dan kota yang menyeramkan, disandingkan dengan tampilan sekte yang mengancam keberadaan Sharon, sayangnya tidak membekas di ingatan—berbeda dengan film pertamanya yang berhasil membuat semua kengerian dan absurditas dunia yang ditonjolkan terpatri dalam pikiran. Namun, setidaknya Pyramid Head dan para suster kembali menghiasi sekuel ini.
Tanggal rilis:
26 Oktober 2012 (AS)
26 Oktober 2012 (AS)
Genre:
Horror
Horror
Durasi:
94 menit
94 menit
Sutradara:
Michael J. Bassett
Michael J. Bassett
Pemain:
Adelaide Clemens, Sean Bean, Kit Harington
Adelaide Clemens, Sean Bean, Kit Harington
Studio:
Open Road Films, Konami
Open Road Films, Konami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar